Sejarah Desa Bawomataluo Nias Selatan
Desa Bawomataluo Nias Selatan adalah sebuah desa adat yang sudah berusia ratusan tahun dan saat ini Desa Bawomataluo sudah dijadikan salah satu warisan budaya dunia yang telah diusulkan oleh UNESCO sejak tahun 2009 dan Desember 2012 lalu.
Desa Bawomataluo yang secara harafiah berarti bukit matahari,dan diperkirakan didirikan antara pada tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional(OMO HADA) khas dari Nias Selatan dengan berjumlah sekitar 137 rumah adat yang masih utuh dengan OMO SEBUA(Rumah adat yang besar/rumah Raja yang berada ditengah-tengah). Desa ini berada di kecamatan fanayama kabupaten Nias Selatan yang terletak diatas bukit pada ketinggian 270meter diatas permukaan laut,serta dihuni sebanyak 1310 kepala keluarga.
*Anak tangga Desa Bawomataluo
Desa ini dulunya memiliki 80 anak tangga jika wisatan ingin memasuki kawasan Desa Bawomataluo,tetapi sekarang anak tangganya tinggal 77 lagi dikarenakan adanya longsor pada saat itu. Jika kita sudah berada di kawasan bawomataluo kita akan melihat pemandangan Pantai Sorake dan Teluk Lagundri dari kejauhan.
*Tradisi lompat batu
Orang Nias menyebutnya "Hombo Batu" atau juga "Fahombo",ini adalah tradisi nenek moyang di Nias Selatan. Kata hombo berarti lompati dan batu berarti batu ,sedangkan fahombo berarti melompati . Lompat batu sempat ditarik oleh pemerintah dan dijadikan gambar belakang pada uang Rp.1.000 pada masa itu. Ritual lompat batu ini sudah ada ratusan tahun lamanya,selain memiliki fungsi sebagai ritus kedewasaan bagi laki-laki,lompat batu juga berfungsi juga sebagai batu uji untuk berperang.
Dimasa lalu jika seorang laki-laki dapat melompati batu setinggi 2,1meter mereka dianggap lelaki yang sudah dewasa dan bisa menjadi bagian dari prajurit perang,serta dapat menikahi gadis pujaan hatinya,tetapi itu hanyalah pada masa dulu. Dalam rangka untuk mempersiapkan para prajurit yang hebat,sejak usia 7 tahun anak laki-laki penduduk asli Desa Bawomataluo dilatih melompati tali,sejalan dengan bertambahnya usia mereka maka tali yang dilompati pun semakin tinggi. Hingga nanti saat ritual ini dilaksanakan tinggi benteng musuh diandaikan bisa mencapai 2,1meter. Seorang pemuda dikatakan berhasil jika ia sanggung melompati susunan batu tersebut sebanyak 3kali,maka ia akan dianggap sebagai prajurit dan sebagai pengawal desa. Mayarakat Nias percaya,selain latihan,ada juga unsur magis dari restu roh leluruh turut menentukan siapa yang akan berhasil.
*Tari perang(tari Faluya)
Tradisi ini mengekspresikan nilai-nilai keperwiraan masyarakat Nias,tari ini juga melukiskan peperangan yang dilakukan saat bergelora,serta tari ini juga melambangkan kesatuan masyarakat dalam menghadapi musuh. Kata Faluya berati Bersama-sama/Kerja sama, kesimpulannya Tari Faluya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah penasi yang tidak terbatas. Namun pada saat ini Tari Faluya dilakukan saat acara-acara kebudayaan. Dalam menarikan tari perang ini penari mengenakan pakaian warna-warni,terdiri dari warna merah,kuning,hitam,dan juga dilengkapi mahkota dikepala layaknya seorang kesatria. Dalam menarikan tarian berbagai alat perang juga disertakan,seperti Baluse(sejenis perisai dari kayu yang dibuat agak panjang),Toho (yang ujungnya dibuat berkait,Balewa(parang yang cukup panjang),pedang,Kalabubu (sejenis kalung terbuat dari tempurung kelapa).
😍😍😍
BalasHapuskeren banget lohhh
BalasHapusmantap
BalasHapusCeritanya menarik di baca tidak membosankan dan pemilihan gambarnya keren
BalasHapus👍🏻😀
BalasHapusWahhh😍
BalasHapusNice
BalasHapusYahowu
BalasHapusBagus sekali 👍
BalasHapusMantap 👍